Selasa, 20 Januari 2009

Yang Jauh, yang Dekat

SERANGAN Israel ke Palestina mengundang reaksi dari masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tak hanya mengutuk, mereka juga mengumpulkan dana untuk disumbangkan kepada warga Palestina yang teraniaya. Bahkan, ada yang siap dikirim untuk berperang.
Simpati dan empati kepada bangsa dan negeri Palestina memang tak bisa dielakkan lagi dan sangat pantas. Namun dalam waktu bersamaan sebenarnya juga ada warga kita sendiri yang sengsara akibat ''teraniaya'' oleh berbagai bencana. Ada gempa di Manokwari, lalu banjir di Jabar, Jatim, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Warga kita yang secara geografis lebih dekat ketimbang Palestina itu juga butuh bantuan dan empati. Kenapa yang dekat seakan terabaikan, sedangkan yang jauh justru memperoleh perhatian lebih ?

Rabu, 14 Januari 2009

Partai Politik ? Binatang Apa Itu ?


DI mana partai politik ketika rakyat menderita, kesusahan, dan nelangsa ? Kenapa mereka hanya muncul lima tahun sekali, saat mendekati pemilu ? Di luar itu, kebanyakan tebar pesona dan ada maunya jika nongol.
Kenapa pula partai-partai politik itu tidak ''ngilo githok''-nya sehubungan dengan fenomena golput yang cenderung meningkat ? Mengapa sebagian rakyat emoh, ogah, dan malas memilih ?
Ya, selama ini rakyat telah dikecewakan oleh partai politik, bahkan yang disebut-sebut paling bersih dan lurus pun. Setelah terpilih menjadi anggota legislatif atau pemimpin nomor satu dan dua negeri ini, rakyat yang memilih dilupakan untuk bagi-bagi kekuasaan, melanggengkan kekuasaan, serta melakukan tindakan tercela, misalnya korupsi.
Kenapa setelah berulang-ulang dibikin kecewa kemudian berniat ''menghukum'' dengan cara tidak memilih malah diserang, dicela, dan dimintakan bantuan MUI lewat fatwa haram atas golput ?
Sekali lagi, mengapa partai politik tidak berkaca diri, seolah-olah tidak bersalah dan berdosa kepada rakyat ?
Jadi, bolehlah ada yang bilang: partai politik ? binatang apa itu ?

Selasa, 30 Desember 2008

Sesat Pikir soal Golput Haram


SAYA tidak habis pikir. Para politikus kita kian tersesat saja. Terakhir, salah seorang petinggi sebuah lembaga negara mengusulkan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memberikan fatwa haram terhadap golput.
Itu jelas sesat pikir yang keterlaluan, padahal yang bersangkutan seorang intelektual dari sebuah partai yang dikenal bersih dan lurus. Apakah dia sudah kehilangan akal menghadapi rakyat ?
Logikanya di mana bahwa golput itu haram ? Apa dalil-dalilnya ? Kalau para politikus serta para pemimpin bangsa itu benar-benar peduli dan memikirkan rakyat yang telah memilih mereka, tentu tak mungkin jumlah golput membengkak.
Rupanya mereka khawatir dalam pemilu legislatif nanti akan dikalahkan oleh golput atau orang-orang yang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya. Apa salahnya golput kalau memang benar-benar tidak ada yang pantas dipilih ? Mengajak atau menggerakkan orang lain untuk golput, itu baru kriminal.
Kasihan para pemimpin dan politikus yang rata-rata tak punya hati itu. Saat mau ada pemilihan pura-pura merakyat, setelah itu ...... emang gue pikirin !!
Golput adalah cara menghukum mereka. Permintaan fatwa haram kepada MUI justru menunjukkan betapa dangkal pemikirannya.
Ada lagi pemimpin partai politik yang merancang usulan agar organisasi yang melahirkan partai itu melarang warganya memilih partai gurem. Lucu, benar-benar lucu !!!
Tingkah polah dan cara berpikir mereka kian menunjukkan betapa tak pantas dipilih oleh rakyat.

Jumat, 05 Desember 2008

Salah Tangkap: Apa Susahnya Minta Maaf ?


BEBERAPA kali petugas salah tangkap. Terakhir, tiga orang asal Jombang menjadi korban kekeliruan itu. Mereka didakwa membunuh dan dipenjara. Ternyata kemudian salah. Orang yang didakwakan telah mereka bunuh, dibunuh oleh orang lain.
Meski awalnya alot, baik petugas keamanan maupun kejaksaan ngotot telah melaksanakan prosedur secara benar, akhirnya mengakui telah salah tangkap dan salah vonis. Pengakuan salah itu patut dihargai meski menjengkelkan.
Di mana letak keprofesionalan aparat negara ? Jangan-jangan memang benar dugaan selama ini bahwa kekerasan digunakan untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Kenapa itu dilakukan ? Apakah sekadar mengejar target cepat tuntas, karena dana untuk mengungkap suatu kasus amat terbatas ?
Sayang, petinggi aparat negara itu menolak meminta maaf kepada Kemat dkk yang telah menjadi korban salah ''prosedur''. Apa susahnya minta maaf, kan cuma menggerakkan mulut, syukur disertai ketulusan hati ?!
Untunglah, pemimpin aparat itu di daerah mengatakan akan menyerahkan gajinya kepada ketiga korban. Ditunggu realisasinya ! Lebih dari itu, kasus-kasus serupa yang memalukan itu jangan lagi terjadi.
Cukup Kemat dkk, Sengkon-Karta, dan beberapa yang lain ......

Jumat, 03 Oktober 2008

Menjemput Maut di Jalan

Miris saya membaca berita mengenai mobil yang diterjang kereta di Klaten dan Grobogan. Belum lagi di tempat-tempat lain pada masa Lebaran sekarang.
Kenapa kejadian semacam itu selalu berulang ? Meski disebutkan tahun ini jumlah korban jiwa akibat kecelakaan di jalan raya turun, bagaimana pun satu nyawa tetap amat sangat sangat sangat berharga, bahkan tak ternilai dengan apapun.
Apakah tidak ada cara untuk menghindari korban sia-sia baik di jalan maupun perlintasan kereta walaupun semua tahu mati itu rahasia Allah dan tidak memilih tempat atau waktu. Di tempat tidur pun kalau sudah dikehendaki, pasti tak akan bisa menghindar.
Namun kesan sia-sia itu terasa sekali pada korban-korban yang berjatuhan di jalan raya. Apa faktor penyebab yang dominan ? Jalan yang tidak aman ? Pengguna jalan yang kurang waspada dan hati-hati ? Atau lainnya ?
Mudik Lebaran memang sudah mentradisi, bahkan mendekati budaya. Jutaan orang ramai-ramai pulang kampung dengan kendaraan umum, mobil pribadi, mobil sewaan, atau sepeda motor.
Kemacetan sudah menjadi pemandangan biasa saat semua orang memenuhi jalan. Untuk yang menempuh jarak jauh, keletihan dan mungkin perasaan tergesa-gesa ingin segera sampai membuat lengah. Akibatnya, menjadi kurang hati-hati dan waspada sehingga kecelakaan membayangi perjalanan.
Jadi, sebaiknya saat mudik Lebaran tetap berpikir jernih, tenang, dan santai saja. Nikmati saja perjalanan yang sesekali diadang macet. Kalau tidak, ya pilih hari lain saat tidak semua orang tumplek bleg di jalan untuk mudik.
Bukankah mudik dan silaturahim dengan kerabat di kampung tidak mesti saat Lebaran meski afdolnya memang setelah menuntaskan puasa ?

Senin, 15 September 2008

Masya Allah, Orang-orang Miskin Itu .....

Dua puluh satu orang tewas karena berdesak-desakan dan terinjak-injak saat berebut zakat senilai Rp 30 ribu di Pasuruan. Sebagian besar korban adalah perempuan lanjut usia. Masya Allah .....
Dimensi apa yang bisa kita teropong dari kejadian tragis, ironis, sekaligus menggiriskan hati itu ?
Nilai nyawa yang begitu murah, cuma Rp 30 ribu ? Perilaku suka berebut dan tidak sabaran ? Kemiskinan yang sudah sedemikian memprihatinkan sehingga ribuan orang rela saling sikut untuk uang dalam penilaian secara umum tak seberapa ?
Kemiskinan memang gampang berubah wajah menjadi kekejaman. Kemiskinan kadang membuat orang tak peduli pada orang lain, meski tidak semua.
Ingat, sebelum peristiwa mengenaskan itu di Jakarta terungkap pengusaha daging daur ulang sampah hotel yang bertahun-tahun menjalankan bisnisnya tanpa tersentuholeh pihak berwewenang.
Bermodal formalin dan rhodamin, pengusaha yang harus kita akui ulet dan jeli tersebut memulung daging buangan dari hotel dan restoran, kemudian dicuci, dimasak, diberi formalin biar awet, diwarnai dengan rhodamin, lalu dijual murah Rp 5 ribu per plastik.
Jualan itu pun laris, dari ibu-ibu rumah tangga sampai pemilik warung tegal. Barangkali kita pernah menikmati daging daur ulang hasil kreativitas yang sebenarnya sangat berbahaya bagi kesehatan.
Kemiskinan memang gampang membutakan terhadap segala sesuatu, terutama pikiran jernih disertai logika. Pokoknya, murah rah dan tentu saja, enak !
Dari kenyataan ironis yang bertebaran di sekitar kita, masihkah perlu berbangga hati dengan mengatakan angka kemiskinan telah turun drastis ?
Bagi saya, bangsa ini bukan cuma miskin dalam dimensi ekonomi, melainkan juga nurani, visi, dan kecerdasan.
Banyak hal-hal dangkal yang menjadi persoalan nasional heboh. Contohnya, apakah lebih penting mempersoalkan baju seragam bagi koruptor ketimbang menegakkan hukum setegak-tegaknya ?
Masya Allah, begitu miskin bangsa ini sehingga hal remeh-temeh seringkali dibesar-besarkan, bahkan kadang-kadang sekadar untuk alasan politis !

Minggu, 10 Agustus 2008

Setuju Koruptor Diborgol

Saya setuju seratus persen koruptor diborgol dan diberi baju khusus. Biar malu (kalau masih punya kemaluan).
Tetapi saya agak pesimistis. Mungkin koruptor kecil-kecilan kelas kampung masih bisa malu. Koruptor kelas kakap ? Wah, jangan-jangan mereka itu bukan manusia lagi sehingga tak lagi punya perasaan. Tetap percaya diri meski telah ''membunuh'' sekian rakyat kecil gara-gara perbuatannya.
Celakanya, biasanya ada kongkalikong dengan aparat penegak hukum lainnya sehingga ada skenario aman. Penyidikan berhenti pada orang-orang tertentu yang sengaja dikorbankan.
Jadi, saya rasa hukuman mati lebih tepat. Kalau cuma diborgol dan diberi baju khusus, orang-orang itu sudah kebal !