Selasa, 30 Desember 2008

Sesat Pikir soal Golput Haram


SAYA tidak habis pikir. Para politikus kita kian tersesat saja. Terakhir, salah seorang petinggi sebuah lembaga negara mengusulkan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memberikan fatwa haram terhadap golput.
Itu jelas sesat pikir yang keterlaluan, padahal yang bersangkutan seorang intelektual dari sebuah partai yang dikenal bersih dan lurus. Apakah dia sudah kehilangan akal menghadapi rakyat ?
Logikanya di mana bahwa golput itu haram ? Apa dalil-dalilnya ? Kalau para politikus serta para pemimpin bangsa itu benar-benar peduli dan memikirkan rakyat yang telah memilih mereka, tentu tak mungkin jumlah golput membengkak.
Rupanya mereka khawatir dalam pemilu legislatif nanti akan dikalahkan oleh golput atau orang-orang yang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya. Apa salahnya golput kalau memang benar-benar tidak ada yang pantas dipilih ? Mengajak atau menggerakkan orang lain untuk golput, itu baru kriminal.
Kasihan para pemimpin dan politikus yang rata-rata tak punya hati itu. Saat mau ada pemilihan pura-pura merakyat, setelah itu ...... emang gue pikirin !!
Golput adalah cara menghukum mereka. Permintaan fatwa haram kepada MUI justru menunjukkan betapa dangkal pemikirannya.
Ada lagi pemimpin partai politik yang merancang usulan agar organisasi yang melahirkan partai itu melarang warganya memilih partai gurem. Lucu, benar-benar lucu !!!
Tingkah polah dan cara berpikir mereka kian menunjukkan betapa tak pantas dipilih oleh rakyat.

Jumat, 05 Desember 2008

Salah Tangkap: Apa Susahnya Minta Maaf ?


BEBERAPA kali petugas salah tangkap. Terakhir, tiga orang asal Jombang menjadi korban kekeliruan itu. Mereka didakwa membunuh dan dipenjara. Ternyata kemudian salah. Orang yang didakwakan telah mereka bunuh, dibunuh oleh orang lain.
Meski awalnya alot, baik petugas keamanan maupun kejaksaan ngotot telah melaksanakan prosedur secara benar, akhirnya mengakui telah salah tangkap dan salah vonis. Pengakuan salah itu patut dihargai meski menjengkelkan.
Di mana letak keprofesionalan aparat negara ? Jangan-jangan memang benar dugaan selama ini bahwa kekerasan digunakan untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Kenapa itu dilakukan ? Apakah sekadar mengejar target cepat tuntas, karena dana untuk mengungkap suatu kasus amat terbatas ?
Sayang, petinggi aparat negara itu menolak meminta maaf kepada Kemat dkk yang telah menjadi korban salah ''prosedur''. Apa susahnya minta maaf, kan cuma menggerakkan mulut, syukur disertai ketulusan hati ?!
Untunglah, pemimpin aparat itu di daerah mengatakan akan menyerahkan gajinya kepada ketiga korban. Ditunggu realisasinya ! Lebih dari itu, kasus-kasus serupa yang memalukan itu jangan lagi terjadi.
Cukup Kemat dkk, Sengkon-Karta, dan beberapa yang lain ......