Selasa, 30 Desember 2008

Sesat Pikir soal Golput Haram


SAYA tidak habis pikir. Para politikus kita kian tersesat saja. Terakhir, salah seorang petinggi sebuah lembaga negara mengusulkan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memberikan fatwa haram terhadap golput.
Itu jelas sesat pikir yang keterlaluan, padahal yang bersangkutan seorang intelektual dari sebuah partai yang dikenal bersih dan lurus. Apakah dia sudah kehilangan akal menghadapi rakyat ?
Logikanya di mana bahwa golput itu haram ? Apa dalil-dalilnya ? Kalau para politikus serta para pemimpin bangsa itu benar-benar peduli dan memikirkan rakyat yang telah memilih mereka, tentu tak mungkin jumlah golput membengkak.
Rupanya mereka khawatir dalam pemilu legislatif nanti akan dikalahkan oleh golput atau orang-orang yang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya. Apa salahnya golput kalau memang benar-benar tidak ada yang pantas dipilih ? Mengajak atau menggerakkan orang lain untuk golput, itu baru kriminal.
Kasihan para pemimpin dan politikus yang rata-rata tak punya hati itu. Saat mau ada pemilihan pura-pura merakyat, setelah itu ...... emang gue pikirin !!
Golput adalah cara menghukum mereka. Permintaan fatwa haram kepada MUI justru menunjukkan betapa dangkal pemikirannya.
Ada lagi pemimpin partai politik yang merancang usulan agar organisasi yang melahirkan partai itu melarang warganya memilih partai gurem. Lucu, benar-benar lucu !!!
Tingkah polah dan cara berpikir mereka kian menunjukkan betapa tak pantas dipilih oleh rakyat.

Jumat, 05 Desember 2008

Salah Tangkap: Apa Susahnya Minta Maaf ?


BEBERAPA kali petugas salah tangkap. Terakhir, tiga orang asal Jombang menjadi korban kekeliruan itu. Mereka didakwa membunuh dan dipenjara. Ternyata kemudian salah. Orang yang didakwakan telah mereka bunuh, dibunuh oleh orang lain.
Meski awalnya alot, baik petugas keamanan maupun kejaksaan ngotot telah melaksanakan prosedur secara benar, akhirnya mengakui telah salah tangkap dan salah vonis. Pengakuan salah itu patut dihargai meski menjengkelkan.
Di mana letak keprofesionalan aparat negara ? Jangan-jangan memang benar dugaan selama ini bahwa kekerasan digunakan untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Kenapa itu dilakukan ? Apakah sekadar mengejar target cepat tuntas, karena dana untuk mengungkap suatu kasus amat terbatas ?
Sayang, petinggi aparat negara itu menolak meminta maaf kepada Kemat dkk yang telah menjadi korban salah ''prosedur''. Apa susahnya minta maaf, kan cuma menggerakkan mulut, syukur disertai ketulusan hati ?!
Untunglah, pemimpin aparat itu di daerah mengatakan akan menyerahkan gajinya kepada ketiga korban. Ditunggu realisasinya ! Lebih dari itu, kasus-kasus serupa yang memalukan itu jangan lagi terjadi.
Cukup Kemat dkk, Sengkon-Karta, dan beberapa yang lain ......

Jumat, 03 Oktober 2008

Menjemput Maut di Jalan

Miris saya membaca berita mengenai mobil yang diterjang kereta di Klaten dan Grobogan. Belum lagi di tempat-tempat lain pada masa Lebaran sekarang.
Kenapa kejadian semacam itu selalu berulang ? Meski disebutkan tahun ini jumlah korban jiwa akibat kecelakaan di jalan raya turun, bagaimana pun satu nyawa tetap amat sangat sangat sangat berharga, bahkan tak ternilai dengan apapun.
Apakah tidak ada cara untuk menghindari korban sia-sia baik di jalan maupun perlintasan kereta walaupun semua tahu mati itu rahasia Allah dan tidak memilih tempat atau waktu. Di tempat tidur pun kalau sudah dikehendaki, pasti tak akan bisa menghindar.
Namun kesan sia-sia itu terasa sekali pada korban-korban yang berjatuhan di jalan raya. Apa faktor penyebab yang dominan ? Jalan yang tidak aman ? Pengguna jalan yang kurang waspada dan hati-hati ? Atau lainnya ?
Mudik Lebaran memang sudah mentradisi, bahkan mendekati budaya. Jutaan orang ramai-ramai pulang kampung dengan kendaraan umum, mobil pribadi, mobil sewaan, atau sepeda motor.
Kemacetan sudah menjadi pemandangan biasa saat semua orang memenuhi jalan. Untuk yang menempuh jarak jauh, keletihan dan mungkin perasaan tergesa-gesa ingin segera sampai membuat lengah. Akibatnya, menjadi kurang hati-hati dan waspada sehingga kecelakaan membayangi perjalanan.
Jadi, sebaiknya saat mudik Lebaran tetap berpikir jernih, tenang, dan santai saja. Nikmati saja perjalanan yang sesekali diadang macet. Kalau tidak, ya pilih hari lain saat tidak semua orang tumplek bleg di jalan untuk mudik.
Bukankah mudik dan silaturahim dengan kerabat di kampung tidak mesti saat Lebaran meski afdolnya memang setelah menuntaskan puasa ?

Senin, 15 September 2008

Masya Allah, Orang-orang Miskin Itu .....

Dua puluh satu orang tewas karena berdesak-desakan dan terinjak-injak saat berebut zakat senilai Rp 30 ribu di Pasuruan. Sebagian besar korban adalah perempuan lanjut usia. Masya Allah .....
Dimensi apa yang bisa kita teropong dari kejadian tragis, ironis, sekaligus menggiriskan hati itu ?
Nilai nyawa yang begitu murah, cuma Rp 30 ribu ? Perilaku suka berebut dan tidak sabaran ? Kemiskinan yang sudah sedemikian memprihatinkan sehingga ribuan orang rela saling sikut untuk uang dalam penilaian secara umum tak seberapa ?
Kemiskinan memang gampang berubah wajah menjadi kekejaman. Kemiskinan kadang membuat orang tak peduli pada orang lain, meski tidak semua.
Ingat, sebelum peristiwa mengenaskan itu di Jakarta terungkap pengusaha daging daur ulang sampah hotel yang bertahun-tahun menjalankan bisnisnya tanpa tersentuholeh pihak berwewenang.
Bermodal formalin dan rhodamin, pengusaha yang harus kita akui ulet dan jeli tersebut memulung daging buangan dari hotel dan restoran, kemudian dicuci, dimasak, diberi formalin biar awet, diwarnai dengan rhodamin, lalu dijual murah Rp 5 ribu per plastik.
Jualan itu pun laris, dari ibu-ibu rumah tangga sampai pemilik warung tegal. Barangkali kita pernah menikmati daging daur ulang hasil kreativitas yang sebenarnya sangat berbahaya bagi kesehatan.
Kemiskinan memang gampang membutakan terhadap segala sesuatu, terutama pikiran jernih disertai logika. Pokoknya, murah rah dan tentu saja, enak !
Dari kenyataan ironis yang bertebaran di sekitar kita, masihkah perlu berbangga hati dengan mengatakan angka kemiskinan telah turun drastis ?
Bagi saya, bangsa ini bukan cuma miskin dalam dimensi ekonomi, melainkan juga nurani, visi, dan kecerdasan.
Banyak hal-hal dangkal yang menjadi persoalan nasional heboh. Contohnya, apakah lebih penting mempersoalkan baju seragam bagi koruptor ketimbang menegakkan hukum setegak-tegaknya ?
Masya Allah, begitu miskin bangsa ini sehingga hal remeh-temeh seringkali dibesar-besarkan, bahkan kadang-kadang sekadar untuk alasan politis !

Minggu, 10 Agustus 2008

Setuju Koruptor Diborgol

Saya setuju seratus persen koruptor diborgol dan diberi baju khusus. Biar malu (kalau masih punya kemaluan).
Tetapi saya agak pesimistis. Mungkin koruptor kecil-kecilan kelas kampung masih bisa malu. Koruptor kelas kakap ? Wah, jangan-jangan mereka itu bukan manusia lagi sehingga tak lagi punya perasaan. Tetap percaya diri meski telah ''membunuh'' sekian rakyat kecil gara-gara perbuatannya.
Celakanya, biasanya ada kongkalikong dengan aparat penegak hukum lainnya sehingga ada skenario aman. Penyidikan berhenti pada orang-orang tertentu yang sengaja dikorbankan.
Jadi, saya rasa hukuman mati lebih tepat. Kalau cuma diborgol dan diberi baju khusus, orang-orang itu sudah kebal !

Kamis, 07 Agustus 2008

Negeri Koruptor

Negeri ini pantas disebut Negeri Koruptor. Sudah ada pengadilan, kejaksaan, kepolisian, badan-badan pengawas atau inspektorat internal instansi dari pusat sampai daerah, masih ditambah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi korupsi tak pernah berkurang. Bahkan cenderung menggila.
Media massa beberapa waktu terakhir dihiasi berita kasus korupsi berjamaah di lembaga wakil rakyat, Kejaksaan Agung, serta para kepala daerah. Heran, sudah jelas bukti berbicara tetapi hampir semua seperti tak merasa korupsi. Sandiwara tingkat tinggi, tebal muka, atau .... bebal mereka itu ?!
Pejabat di Kejaksaan Agung yang pembicaraan teleponnya tersadap KPK bisa-bisanya berkilah. Sudah sebobrok itukah salah satu garda terdepan keadilan di negeri ini ? Semua seperti bisa dimain-mainkan. Kurang ajar betul pejabat itu. Tak tahu malu, atau memang sudah tak punya ''kemaluan'' ?!

Senin, 04 Agustus 2008

Orang-orang Kejam

Kita tak habis mengerti, tetapi sekaligus mencoba memahami. Apa yang ada di benak Ryan, Rio Martil, almarhumah Sumarsih, almarhum Sugeng, dan masih panjang lagi kalau disebutkan satu per satu ?
Di tangan mereka nyawa orang begitu tak berharga. Atau justru begitu berharga sehingga harus dilenyapkan ?!
Untuk memahami dan mengerti memang membutuhkan pengetahuan lintas dimensi. Ada psikologi, kriminologi, atau bahkan hal-hal di luar nalar semacam mistik dan kegilaan.
Namun yang jelas peristiwa itu nyata dan sambung menyambung. Terakhir, seorang anggota Linmas di Menteng, Jakarta begitu telengas menghilangkan nyawa tiga orang sekaligus -- suami istri dan pembantunya -- gara-gara pusing memikirkan utang yang ''cuma'' Rp 2,5 juta.
Pantaskah kita sebut mereka sebagai orang-orang kejam ketika sebagian dari kita tak sadar telah bersikap serta bertindak ''kejam'' dengan mengabaikan dan tak mengacuhkan orang-orang tertekan, terpinggirkan, dan terdesak yang mungkin sebenarnya hanya butuh simpati atau empati.
Tidakkah kita sesungguhnya yang menciptakan orang-orang semacam Ryan dan Rio dalam sebutan kita menjadi sosok ''mengerikan'', ''jagal'', ''tak berperikemanusiaan'', dan sebagainya ?
Kalau saja kita mau sedikit peduli, memberikan sepercik perhatian, mengulurkan jari tangan, menyapa, dan mendengar, barangkali tak perlu ada orang-orang nekat dan gelap mata sehingga tega menebas hak hidup orang lain yang dianggap meminggirkan, menekan, tak memberi harapan, dan menyengsarakan.
Kalau kita merasa sebagai orang beragama dan ber-Tuhan, jangan tunggu lama-lama, marilah mulai memperhatikan orang-orang di sekeliling kita yang lemah, tersudutkan, tak berdaya, papa, dan miskin.
Mungkin itu salah satu obat untuk mengatasi kemunculan orang-orang yang kita sebut KEJAM.

Selasa, 29 Juli 2008

Orang-orang Tidak Terhormat

Betapa menyedihkan, sekaligus menggelikan. Orang-orang yang disebut sebagai wakil rakyat ternyata mengkhianati yang diwakili lewat perbuatan nista: korupsi !
Orang-orang yang disebut terhormat itu ternyata sebenarnya tidak pantas dihormati karena kelakuan dan pikirannya yang busuk.
Celakanya, sebagian besar tidak mengakui bahwa mereka adalah kelompok busuk. Mungkin berkilah, atau lebih celaka lagi: bebal !!
Mereka harus kita hukum. Jangan dipilih lagi. Partai politik tempat bernaungnya juga jangan membela kalau kenyataannya memang busuk.
Saya setuju, koruptor dihukum mati atau minimal seumur hidup dan dikucilkan dari kehidupan sosial. Sebab, perbuatan itu makin menyengsarakan rakyat, terutama yang miskin.
Sayang, sebagian dari kita masih suka memaafkan orang-orang busuk itu hanya karena kibaran lembaran-lembaran uang.
Sayang memang.

Senin, 28 April 2008

Negeri Ruwet

Saya tersenyum kecut hidup di negeri ruwet.
Rakyat melarat kurang makan, eh pemimpin nyanyi-nyanyi sembari pelesir ke luar negeri.
Eh yang mengaku-aku wakil rakyat lebih suka memikirkan diri sendiri.
Namanya juga mengaku-aku. Salah sendiri yang memilih.
Sama-sama susah la kok tawur. Apa yang kau cari ?

Selasa, 15 April 2008

Membunuh Televisi !

Makin banyak acara televisi yang sangat sangat sangat tidak bermutu. Saya harus berhati-hati menjaga anak-anak dari pembodohan.
Mulai sinetron yang ceritanya ngawur, film kartun penuh caci maki dan adegan kekerasan, talk show tidak cerdas, idol-idolan yang tidak mendidik, hingga iklan yang tak kalah ngawurnya.
Saya heran, bagaimana cara berpikir dan bernalar orang-orang di balik program acara-acara tersebut ? Sungguh mengerikan.
Apakah mereka tidak pernah memikirkan apa dampak tontonan yang mereka bikin, khususnya bagi anak-anak ?
Tak ada cara lain, saya harus bertindak barbar. Jika ada acara yang ngawur dan mengerikan, televisi langsung saya bunuh. Anak-anak saya ajak main di luar.

Senin, 14 April 2008

Pak Presiden Marah

Di televisi saya melihat Pak Presiden marah gara-gara salah seorang pendengarnya tidur. Beliau yang selama ini terkenal santun dan berwajah sejuk, tampak gusar dan emosional.
Apakah perlu seorang pejabat tinggi tersinggung melihat orang lain seperti mengabaikan pembicaraannya ?
Kenapa beliau tidak bersabar hati saja membiarkan orang lain menikmati nikmat berupa tidur nyenyak ?
Saya kira, Pak Presiden terlampau berlebihan. Memperlihatkan kegusaran di depan umum betapa bukan kelas beliau.

Jumat, 28 Maret 2008

Presiden Mengeluh

Dalam suatu kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluh kurang lebih begini: jadi presiden itu melelahkan dan dihadapkan pada situasi serbatidak enak.
Saya berkomentar dalam hati: kok baru sekarang sadar, tidak ketika akan mencalonkan diri dulu ?
Padahal banyak orang yang merasa mampu duduk di kursi presiden menunjukkan syahwatnya, baik secara terang-terangan maupun agak malu-malu kucing.
Yaaaa .... kalau tidak capek dan serbaenak namanya bukan presiden, tetapi raja yang hanya suka memerintah dan minta dilayani.
Rakyat memilih seseorang jadi presiden karena berharap besar orang pilihannya itu akan mampu memimpin menuju masa depan yang cerah, sejahtera, dan tentu saja aman damai.
Jadi presiden atau pemimpin apapun memang tidak enak, tidak ringan, dan tidak gampang. Sebab, pemimpin sejati sesungguhnya adalah pelayan rakyatnya, bukan minta dilayani rakyatnya. Pelayan dalam konteks ini bermakna lebih besar dan luas.
Kami memilih presiden bukan bermaksud menjadikan sebagai raja, melainkan sosok yang bisa memimpin bangsa ini menuju kemajuan. Bukan jalan di tempat dan berputar-putar dari satu wacana ke wacana-wacana lain.
Tugas presiden beserta para pembantunya di kabinet adalah bekerja, bekerja, bekerja ..... dan bekerja keras untuk mewujudkan janji yang diemban sekaligus cita-cita rakyatnya.
Jika presiden mengeluhkan tugasnya, kami bisa menilai macam apa orang yang dipilih oleh mayoritas rakyat empat tahun lalu itu.
Jadi, pantaskah sampeyan kembali mencalonkan diri ? Baru tahu ya jadi presiden tidak enak ?

Kamis, 27 Maret 2008

Ibu Membunuh Anaknya

Seorang ibu di Pekalongan membunuh kedua anaknya. Kasus tragis serupa sebelumnya juga terjadi di Malang, Jakarta, dan Jabar.
Ada apa sebenarnya ? Benarkah masyarakat kita sakit ? Atau, tekanan ekonomi benar-benar tak lagi tertahankan oleh sebagian masyarakat yang termasuk kelompok miskin ?
Masih perlu penelitian dan pengkajian secara mendalam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lebih penting lagi, kalau benar dugaan penyebabnya adalah masalah ekonomi, itu menjadi tugas pemerintah. Sekali lagi itu tugas pemerintah !
Sebagai upaya awal untuk mencegah kejadian tersebut terulang lagi, budaya gotong royong dan guyub antartetangga penting kembali digalakkan.
Saat ini ada kecenderungan orang menjadi individualistis dan egoistis. Begitu masuk pekarangan, sudah menjadi urusan pribadi.
Mulai jarang terjadi interaksi antarwarga, barangkali karena kesibukan kerja masing-masing yang makan waktu hampir seharian. Berangkat subuh pulang lepas isya.
Lewat interaksi intim sebagaimana masa-masa dahulu, ada semacam katarsis mengatasi berbagai persoalan hidup. Dengan bicara atau curhat pada orang lain, kalaupun belum menemukan solusi, minimal beban akan terasa ringan.
Orang-orang yang menderita tekanan batin sangat membutuhkan simpati, bahkan empati. Semangat tolong menolong perlu ditumbuhkan lagi.

Selasa, 25 Maret 2008

Tak Pernah Mau Belajar, Mau Enaknya Saja

Cukup banyak predikat yang disandang bangsa ini. Antara lain bangsa yang mudah lupa, dan saya tambahi lagi dengan bangsa yang tak pernah mau belajar serta mau enaknya saja.
Banyak peristiwa, khususnya yang buruk, yang bisa dijadikan pelajaran dan pengalaman ke depan. Namun sayangnya sebagian besar atau bahkan hampir seluruh komponen bangsa yang katanya besar ini tak punya kemauan belajar.
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), huru hara Mei 1998, tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, lumpur Lapindo di Sidoarjo, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Rentetan peristiwa pahit itu begitu ganti tahun akan segera terlupakan. Kesalahan-kesalahan serupa kemudian diulangi lagi, seolah-olah bangsa ini adalah keledai yang tak bosan-bosan berbuat salah.
Di samping itu, bangsa ini mau enaknya sendiri. Ketika menghadapi kesulitan sering menyalahkan pihak atau bangsa lain. Celakanya, lalu membanding-bandingkan dengan orde masa lalu.
''Sekarang hidup sulit, lebih enak ketika Orde baru dulu, walaupun kurang merdeka mencari sesuap nasi masih gampang.''
Itulah salah satu ungkapan yang sering muncul. Sedih rasanya mendengar keluhan semacam itu.
Setiap era ada tantangannya tersendiri. Kalau tidak mau susah, ya tidur saja sembari berharap semoga mimpi indah: hidup enak seperti pada zaman Orde Baru !

Senin, 24 Maret 2008

Pemimpin

Pesan almarhum Bapak masih terngiang-ngiang hingga sekarang. ''Sebelum memimpin orang lain, pimpinlah diri sendiri terlebih dulu''.
Itulah nasihat seorang guru SD yang nilainya amat tinggi sebagai filosofi. Disarikan dari pengalaman dan pergulatan hidup sekian lama.
Pesan berupa nasihat itu saya kira relevan dengan keadaan sekarang ketika negeri ini seperti selalu salah dalam mencari dan menemukan pemimpin.
Sang pemimpin yang digadang-gadang bisa membawa kemaslahatan ternyata tidak memenuhi harapan.
Ada yang hanya hobi ngomong, suka mempraktikkan prinsip trial by error seolah-olah negeri ini punya mbahnya, diam melulu atau hanya mesem-mesem, dan sebagainya.
Ada sekolah formal pemimpin tetapi tak menjamin lulusannya menjadi pemimpin yang benar-benar mampu memimpin.
Banyak calon pemimpin disiapkan lewat organisasi kemasyarakatan, kampus, dan partai politik, tetapi ketika duduk di kursi pemimpin seperti lupa apa yang mesti dilakukan.
Memimpin masih sering diartikan bagaimana memanfaatkan kedudukan beserta segala fasilitasnya serta memperdaya yang dipimpin.
Di sinilah ungkapan ''pimpinlah diri sendiri sebelum memimpin orang lain'' menemukan inti maknanya.
Pada kalimat itu ada semangat mawas diri apakah layak untuk menduduki posisi sebagai pemimpin.
Pemimpin dalam konteks persoalan ini bisa ketua RT, manajer, direktur perusahaan, hingga kepala negara dan pemerintahan.
Teori kepemimpinan bisa dipelajari oleh siapa saja, namun tidak semua pantas menjadi pemimpin.
Ada banyak kriteria seorang pemimpin yang benar-benar pemimpin. Jika dirangkum cukup dengan kata-kata: melayani dan mau berkorban !
Bukan pemimpin kalau bersemangat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bukan pemimpin jika melalaikan rakyat. Bukan pemimpin kalau suka marah-marah dan tersinggung. Bukan pemimpin jika hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya.
Jadi, Anda bisa menilai orang-orang yang sekarang menjadi pemimpin apakah pemimpin dalam arti sesungguhnya.

Sabtu, 22 Maret 2008

Orang-orang Serakah

Saya tak bisa membayangkan andai memegang uang senilai Rp 6 miliar karena tampaknya tidak akan pernah mengalami.
Jika uang itu terdiri atas pecahan seribu rupiah, berapa meter tumpukannya ? Kalau dibelikan kerupuk, kira-kira dapat berapa biji ya ......
Dulu, ketika masih kecil orang tua sering mengingatkan agar tidak serakah. Kebetulan saudara banyak.
Tetapi namanya anak-anak, selalu saja bikin ulah. Ada yang menyembunyikan jatah saudara, merebut, atau bahkan merampas.
Itulah mungkin yang terjadi di negeri ini. Korupsi tak mati-mati ! Bahkan lembaga yang semestinya mencegah, menindak, dan mengawal slogan antikorupsi ternyata disusupi orang-orang yang hobi korupsi.
Barangkali korupsi berawal dari sifat serakah. Sudah punya banyak masih pengin yang lebih banyak lagi.
Keinginan susah dikendalikan. Orang tak akan pernah merasa cukup atas apa yang sudah dimiliki. Ingin yang lebih, lebih, dan lebih.
Bisa pula korupsi berawal dari rasa lapar dan haus serta ''miskin''. Begitu ada kesempatan, rasa lapar dan haus itu hendak dituntaskan.
Celakanya, seringkali lapar dan haus tak bisa sembuh. Bahkan cenderung terus bertambah parah.
Soal ''miskin'', bisa miskin harta, miskin kearifan, miskin rohani, serta masih banyak miskin-miskin yang lain.
Intinya memang bagaimana menaklukkan serakah, rasa lapar dan haus, dan ''miskin'' itu. Kalau tidak, jangan harap korupsi bakal mereda.
Jangan-jangan saya termasuk orang-orang serakah itu ........

Kamis, 20 Maret 2008

Bosan pada Wacana dan yang Tua-tua

Saya kian sering bertanya-tanya. Apakah negeri ini tidak punya calon pemimpin muda yang tidak hanya suka berwacana.
Lihatlah, nama-nama calon presiden yang muncul itu-itu saja. Tua-tua dan membosankan. Ada yang hanya pintar berwacana, mantan jenderal yang meragukan, emak-emak yang ketika duduk di kursi presiden diam melulu, sampai ''orang gila'' yang terpeleset jadi presiden.
Tidak adakah orang muda dengan pikiran segar dan progresif ? Bagaimana itu organisasi massa dan partai politik yang salah tugasnya adalah menciptakan calon-calon pemimpin masa depan ?
Apakah orang-orang muda brilian segan menampakkan diri atau sengaja ''diinjak'' yang tua-tua itu ?
Negeri ini butuh orang muda-muda, bukan orang tua-tua yang cenderung konservatif dan lebih suka defensif serta banyak omong !!

Rabu, 19 Maret 2008

Seperti Mengurus becak

Sudah lama saya menduga, perusahaan penerbangan AdamAir dan sejenisnya tidak akan berumur panjang. Meski bukan orang kaya dan tidak sering-sering amat memanfaatkan jasa penerbangan, iming-iming tarif murah itu mengundang kecurigaan besar.
Tak mungkin hanya memangkas atau menghilangkan biaya konsumsi penumpang. Pasti ada pos-pos lain yang dikorbankan demi menciptakan tarif miring, bahkan tak masuk akal, itu. Jangan-jangan perawatan pesawat dan faktor-faktor keselamatan penumpang juga dikorbankan.
Ketika ditanya teman atau saudara kenapa saya fanatik pada salah satu perusahaan penerbangan nasional tertua dan bertarif ''mahal'', saya belum bisa menjawab disertai hitungan-hitungannya secara detail dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan penerbangan baru yang murah meriah itu.
Pokoknya, saya merasa aman ! Itulah jawaban saya. Tak sedikit yang mengolok-olok saya orang sok, karena saat banyak pilihan penerbangan murah mau-maunya bertindak ''bodoh'' dengan tetap loyal pada perusahaan penerbangan yang tarifnya memang tinggi.
Sekarang terbukti, betapa bobrok manajemen penerbangan murah itu. Setelah AdamAir diteliti ternyata mereka mengabaikan keselamatan penumpang. Ngeri ketika ingat salah satu pesawatnya hilang beserta seluruh awak dan penumpangnya, serta hingga kini tak ketahuan rimbanya.
Orang boleh bilang bahwa hidup dan mati di tangan Tuhan. Kalau sudah takdir, tak usah naik pesawat terbang, di tempat tidur pun sewaktu-waktu bisa dipanggil menghadap Dia.
Tetapi saya yakin kita diberi hak sekaligus kewajiban untuk mengupayakan dan mengantisipasi agar semua berjalan baik dan selamat !
Jadi, betapa tolol ada orang mengurus usaha jasa penerbangan seperti mengurus becak. Murah murah, siapa saja bisa terbang (tetapi gue enggak jamin keselamatan elu!).

Selasa, 18 Maret 2008

Awas, Krisis Pangan

Berdasarkan berbagai kajian mutakhir, gejala yang mengarah pada krisis pangan tahun ini kian menguat. Beberapa pakar menyebutkan krisis global yang akan terjadi bukan akibat harga minyak bumi yang melejit di atas 100 dolar AS/barel, melainkan karena ketersediaan pangan.
Krisis pangan diperkirakan menjadi krisis terbesar di abad ini dan menimpa banyak negara, termasuk Indonesia. Persediaan yang terbatas membuat harga berbagai komoditas pangan bisa menembus level yang mengkhawatirkan.
Harga beras, kedelai, jagung, dan gandum diperkirakan mencapai rekor tertinggi. Demikian juga bahan pangan lainnya.
Persediaan beras dunia akan mencapai titik terendah yang mendorong harganya menyentuh tingkat tertinggi selama 20 tahun terakhir, sedangkan persediaan gandum berada di tingkat paling rendah dalam 50 tahun ini.
Harga bahan pangan melonjak drastis sekitar 75% dibandingkan dengan harga pada tahun 2000, bahkan beberapa komoditas dimungkinkan melewati 200%. Namun lonjakan harga bahan pangan itu dipastikan tak akan dinikmati oleh petani kita, tetapi petani di negara-negara maju.
Dengan penguasaan lahan kurang dari 0,3 ha dan sebagian besar buruh tani, justru merekalah yang menanggung beban berat.
Di Tanah Air saat ini perkembangan harga pangan menuju titik kesetimbangan baru. Setelah terjadi gejolak sejak beberapa waktu lalu, harga akan berada pada kestabilan yang sangat mungkin lebih tinggi dari sebelumnya.
Minyak goreng, contohnya, selama periode Januari 2006-Januari 2007 rata-rata Rp 5.500/liter dengan fluktuasi Rp 5.000-Rp 6.500/liter. Setelah gejolak bisa saja harganya akan menyentuh level Rp 10.000/liter. Itu baru minyak goreng, belum lagi ditambah dengan bahan pangan lain semisal beras, terigu, dan gula. Di sisi lain, tingkat pendapatan masyarakat cenderung tetap, bahkan turun digerus inflasi.
Keseimbangan baru terbentuk akibat terjadi perubahan pada kekuatan pasokan produsen dan permintaan konsumen. Permintaan meningkat secara global antara lain karena ada beberapa jenis bahan pangan dimanfaatkan untuk pengembangan energi alternatif.
Misalnya ketela pohon dan kelapa sawit yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Apalagi sejak beberapa waktu lalu isu bahan bakar ramah lingkungan terus berembus kuat yang didukung oleh negara-negara maju serta produsen kendaraan dan peralatan bermesin. Persaingan sengit antara pangan dan bahan bakar bakal terjadi.
Jika tak ada antisipasi dan kerja keras pemerintah, krisis pangan yang kini sudah mulai membayangi itu akan menyebabkan perekonomian terpuruk makin parah. Selanjutnya, muncul orang-orang miskin baru dan yang paling mengerikan adalah kurang gizi dan gizi buruk merajalela.
Akan muncul generasi yang hilang karena banyak anak balita tak tercukupi standar kebutuhan gizinya supaya bisa berkembang normal baik secara fisik, otak, maupun mental. Data Unicef menyebutkan tahun 2006 ada 2,3 juta balita menderita gizi buruk dan 5 juta kurang gizi. Kalau krisis pangan tak terelakkan, jumlahnya dipastikan naik berlipat-lipat.
Kesiapan masyarakat berpendapatan rendah untuk menghadapi keseimbangan harga pangan yang lebih tinggi amat ditentukan oleh berbagai program untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Kebijakan perdagangan jangka menengah dan panjang diarahkan untuk memperbaiki distribusi komoditas pangan. Perbaikan itu meliputi jalur distribusi fisik dan logistik, antara lain transportasi. Pengembangan pasar komoditas berjangka dan instrumen resi gudang bisa meredam gejolak harga serta memberdayakan petani.
Di samping itu, subsidi langsung tunai dinilai lebih tepat sasaran dibandingkan dengan subsidi pangan.



Pada awalnya adalah ide .......

Semua berawal dari kepala.
Buah-buah di dalamnya bagai cahaya.
Tak terhalangi apapun untuk bersinar.
Menelusuri relung-relung.
Tanpa batas.