Selasa, 18 Maret 2008

Awas, Krisis Pangan

Berdasarkan berbagai kajian mutakhir, gejala yang mengarah pada krisis pangan tahun ini kian menguat. Beberapa pakar menyebutkan krisis global yang akan terjadi bukan akibat harga minyak bumi yang melejit di atas 100 dolar AS/barel, melainkan karena ketersediaan pangan.
Krisis pangan diperkirakan menjadi krisis terbesar di abad ini dan menimpa banyak negara, termasuk Indonesia. Persediaan yang terbatas membuat harga berbagai komoditas pangan bisa menembus level yang mengkhawatirkan.
Harga beras, kedelai, jagung, dan gandum diperkirakan mencapai rekor tertinggi. Demikian juga bahan pangan lainnya.
Persediaan beras dunia akan mencapai titik terendah yang mendorong harganya menyentuh tingkat tertinggi selama 20 tahun terakhir, sedangkan persediaan gandum berada di tingkat paling rendah dalam 50 tahun ini.
Harga bahan pangan melonjak drastis sekitar 75% dibandingkan dengan harga pada tahun 2000, bahkan beberapa komoditas dimungkinkan melewati 200%. Namun lonjakan harga bahan pangan itu dipastikan tak akan dinikmati oleh petani kita, tetapi petani di negara-negara maju.
Dengan penguasaan lahan kurang dari 0,3 ha dan sebagian besar buruh tani, justru merekalah yang menanggung beban berat.
Di Tanah Air saat ini perkembangan harga pangan menuju titik kesetimbangan baru. Setelah terjadi gejolak sejak beberapa waktu lalu, harga akan berada pada kestabilan yang sangat mungkin lebih tinggi dari sebelumnya.
Minyak goreng, contohnya, selama periode Januari 2006-Januari 2007 rata-rata Rp 5.500/liter dengan fluktuasi Rp 5.000-Rp 6.500/liter. Setelah gejolak bisa saja harganya akan menyentuh level Rp 10.000/liter. Itu baru minyak goreng, belum lagi ditambah dengan bahan pangan lain semisal beras, terigu, dan gula. Di sisi lain, tingkat pendapatan masyarakat cenderung tetap, bahkan turun digerus inflasi.
Keseimbangan baru terbentuk akibat terjadi perubahan pada kekuatan pasokan produsen dan permintaan konsumen. Permintaan meningkat secara global antara lain karena ada beberapa jenis bahan pangan dimanfaatkan untuk pengembangan energi alternatif.
Misalnya ketela pohon dan kelapa sawit yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Apalagi sejak beberapa waktu lalu isu bahan bakar ramah lingkungan terus berembus kuat yang didukung oleh negara-negara maju serta produsen kendaraan dan peralatan bermesin. Persaingan sengit antara pangan dan bahan bakar bakal terjadi.
Jika tak ada antisipasi dan kerja keras pemerintah, krisis pangan yang kini sudah mulai membayangi itu akan menyebabkan perekonomian terpuruk makin parah. Selanjutnya, muncul orang-orang miskin baru dan yang paling mengerikan adalah kurang gizi dan gizi buruk merajalela.
Akan muncul generasi yang hilang karena banyak anak balita tak tercukupi standar kebutuhan gizinya supaya bisa berkembang normal baik secara fisik, otak, maupun mental. Data Unicef menyebutkan tahun 2006 ada 2,3 juta balita menderita gizi buruk dan 5 juta kurang gizi. Kalau krisis pangan tak terelakkan, jumlahnya dipastikan naik berlipat-lipat.
Kesiapan masyarakat berpendapatan rendah untuk menghadapi keseimbangan harga pangan yang lebih tinggi amat ditentukan oleh berbagai program untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Kebijakan perdagangan jangka menengah dan panjang diarahkan untuk memperbaiki distribusi komoditas pangan. Perbaikan itu meliputi jalur distribusi fisik dan logistik, antara lain transportasi. Pengembangan pasar komoditas berjangka dan instrumen resi gudang bisa meredam gejolak harga serta memberdayakan petani.
Di samping itu, subsidi langsung tunai dinilai lebih tepat sasaran dibandingkan dengan subsidi pangan.



Tidak ada komentar: